Friday, March 13, 2009

Englishmen in Jogja, Okatara V Bakara, 14 March 2009


che shoes, 130x260 cm, acrylic, pencil on canvas, 2008


black syncronize n black justice, 145x145 cm, acrylic, pencil on canvas, 2008


aubade, 145x145 cm, acrylic, pencil, colase on canvas, 2008


afterday creativito, recitation to lennon, 140x160 cm, acrylic, pencil on canvas, 2008

Pameran tunggal seniman muda bernama Oktara. V. Bakara, di Museum dan Tanah Liat, Desa Menayu Kulon No 55, Kasihan, Bantul - Yogyakarta , Indonesia
pameran ini sedianya akan dibuka oleh Bapak Jumaldi Alfi, seorang seniman kenaamaan.
pameran ini akan dibuka pada tanggal 14 Maret 2009, jam 19.30 wib.

Stefan Buana : WAKE UP !, VWFA Singapore, 27 March 2009


Stefan Buana, Bersama-sama dengan emas di kampungku I


Stefan Buana, bangkit


Stefan Buana, 4 tenaga kuda




Location
VW FINE ART PTE LTD (VALENTINE WILLIE FINE ART, SINGAPORE)
at :
HT Contemporary Space 39 Keppel Road, Tanjong Pagar Distripark, #02-04*
Singapore, Singapore
Phone:
6581331760
Email:




PRESS RELEASE

VALENTINE WILLIE FINE ART and TEMBI CONTEMPORARY are pleased to present Stefan Buana's first solo exhibition in Singapore, 'WAKE UP!'. Stefan is one of Yogyakarta’s more distinctive and innovative contemporary artists.

Shunning the brash pop art of his younger artist friends, he makes no apologies for his distinctive somber symbolism. For Stefan, inspiration come from the very real problems of the many friends he has at home in West Sumatra who are less fortunate than him and have fallen on hard times.

While Stefan brims with confidence for the human spirit, as reflected in the strong line and dynamic spirit of his images, the paintings nevertheless betrays a healthy grip on reality. Many of the works reflect the current political climate as Indonesia's vibrant new democracy faces an election this year.

As well as people, Stefan is always conscious of symbols, drawing for the most part on the animal world for inspiration. The elephant, the horse, the majestic hammerhead shark, all reflect what Stefan describes as 'the context of my current existence'. He takes basic materials like rice, sawdust and string to bring relief to images that he conjures up in dark, shadowy forms with sparse use of colour.

Stefan’s paintings present Indonesia at crossroads, straddling between modernity and tradition. This diverse and strident commentary makes Stefan Buana one of the quintessential Indonesian painters of his times.



ESSAY


By Michael Vatikiotis

"It's time to wake up", Stefan Buana exclaims. "The world is in a mess and we need to come to our senses to do something about it. Now is the time to act."

Hard as it might be to imagine an artist's contribution to resolving global warming and the financial crisis, this earnest young artist from West Sumatra firmly believes in the power of his imagery. "In a situation like today, you need to be pure and strong," he explains his series of paintings depicting galloping wild horses. When it comes to the faces of almost long forgotten historical leaders like Sultan Hassanuddin and Gajah Mada: "I miss these kinds of heroes from the past," he says. The sorts of heroes we have today simply don't live up to his expectations.

Stefan Buana is one of Jogjakarta's more distinctive and innovative contemporary artists. He deploys a variety of styles and innovative techniques to produce works of such range and diversity you often wonder if more than one artist is at work.

Flipping through a catalogue from a recent exhibition of young Jogja artists, Stefan Buana makes no apologies for his distinctive somber symbolism. Stefan has shunned the brash pop art of his younger artist friends. He finds it extravagantly unreal for the times. For Stefan, inspiration comes from the very real problems of the many friends he has at home in West Sumatra who are less fortunate than him and have fallen on hard times.

The artist recounts the sad story of a couple of his friends from back home in Padang. Their business went bad and they turned to petty crime to makes ends meet. Now they are in prison. So the galloping horses are for them, to give them hope.

But whilst he brims with confidence for the human spirit, as reflected in the strong line and dynamic spirit of his images, Stefan nevertheless betrays a healthy grip on reality. Indonesia's vibrant new democracy will face an election this year, and to celebrate the new forces of populism he senses around him, he characterizes the politicians fishing for votes in the murky depths of the ocean. Using a creative combination of ink-stained string and sawdust, he conjures up the many faces of voters in a parody of communal unity, their variety presenting at once the impossibility of uniformity. That's democracy for you, he says.

As well as people, Stefan is always conscious of symbols, drawing for the most part on the animal world for inspiration. The elephant, the horse, the majestic hammerhead shark, all reflect what Stefan describes as "the context of my current existence." Then he takes basic materials like rice, sawdust and string to bring relief to images that he conjures up in dark, shadowy forms with sparse use of colour. Much like the seamy reality he seeks to portray.

Stefan's paintings present Indonesia at a crossroads, straddling modernity and tradition. This is amply reflected in the themes of this exhibition – the nostalgia reflected in paintings like "Rindu Bung Karno", and "Rindu Sultan Hassanuddin". Then there is the sharp modern commentary reflected in "Raja Samudra", "Pilkada Rakyat Bantul", and "Musim Pancing". This diverse and strident commentary makes Stefan Buana one of the quintessential Indonesian painters of his times


-----------------------------

BIOGRAPHY

STEFAN BUANA

Born Padang Panjang, Sumatera Barat, February 27, 1971

Education Art Institute of Indonesia 1993-2003

SOLO EXHIBITIONS

2009 ‘Wake Up!, Valentine Willie Fine Art, Singapore

2008 Stefa Buana: Solo di Galnas, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
'Opening Exhibition', Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta

2006 'Batik Gempa', Taman Budaya, Yogyakarta
'Kampuang Nan D'en Cinto', Hadiprana Gallery Jakarta

2004 Duta Fine Art Gallery, Jakarta

2002 Animal Farm', 678 Gallery, Jakarta


AWARD

2003 Indofood Art Award 2003 Finalist Philip Morris Art Award Finalist

2002 Indofood Art Award Finalist

2001 Top Three Nokia Art Award 2001, Jakarta¬-Bangkok

1999 Indonesia Finalist in Windsor & Newton World Competition, Bandung

1998 Best Picture, Dies Natalis ISI XVI
Best Picture, 'Seni Refleksi Dunia', Benteng Vredeburg

1997 Philip Morris Art Award Finalist

1995 Yogyakarta Artist, Pekan Seni Mahasiswa Indonesia, Jakarta

HIDDEN VIOLENCE, Eko Nugroho

Mengundang anda pada pembukaan pameran tunggal
Eko Nugroho | Hidden Violence



Pembukaan 17 Maret, 19.30
Pameran Berlangsung: 17 Maret – 18 April 2009

Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta 55143
09.00 - 17.00, Minggu & Senin tutup


Pameran ini adalah sebuah interpretasi tentang Wayang Jawa dalam kaitannya dengan bebayang. Dalam tradisi pertunjukan wayang di Jawa, yang biasa dimainkan dalam waktu semalam suntuk, oleh seorang dalang dan iringan gamelan, objek nyata berupa wayang hanya dinikmati sendiri oleh sang dalang. Kita, sebagai penonton, dihadapkan hanya pada bayangannya saja. Sang dalang mengikat keterlibatan penonton melalui bangunan cerita dan keterampilannya yang tinggi dalam memainkan wayang di hadapan pendar cahaya. Nama wayang sendiri, mempunyai arti bayang, sehingga dalam tradisi Jawa, juga Bali, yang menjadi esensi utama dari pertunjukan adalah representasi bebayang tersebut.

Wayang-wayang ini adalah transformasi dari figure-figur komikal yang telah lama diciptakan Eko Nugroho sebagai basis estetika yang utama dalam karya-karyanya. Sosok-sosok aneh seperti manusia berkepala batu, atau berhati berlian, bertangan capit, adalah imaji yang tak asing dalam karya lukis, drawing atau bentuk bordir yang ia ciptakan. Menggabungkan fantasi dan kehidupan sehari-hari adalah caranya untuk merepresentasikan sebuah pandang dunia tentang ambiguitas dan kontradiksi. Dalam wayang purwo, yang ceritanya bersumber pada epos Mahabarata dan Ramayana, kontradiksi adalah sesuatu yang terus menerus digarisbawahi. Bedanya, jika figur-figur pada wayang klasik ini sudah mempunyai karakter yang pasti, dengan ciri khas tertentu sebagai penanda, figur wayang eko didesain untuk bisa menjadi tokoh apa saja. Fleksibilitas ini merupakan salah satu yang didesain untuk membuat projek ini bisa dimainkan oleh siapa saja, dengan cerita apa saja.

Konsep visualisasi untuk pameran ini bersumber dari gagasan tentang pasar malam. Di satu sisi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama yang hidup di pelosok kampung atau di kota-kota kecil, pasar malam adalah sebuah momen untuk bergembira bersama, merayakan kehidupan. Di sisi yang lain, pasar malam juga menghamparkan gambaran menarik tentang bagaimana masyarakat ini menyerap berbagai kultur dan praktik kesenian dari berbagai budaya dan menempatkannya dalam konteks identitas mereka sendiri. Yang modern dan kini, dipertemukan dengan artifak-artifak masa lalu. Yang terasa baru dan gemerlap, disandingkan dengan sesuatu yang kuno dan berbau ‘murahan’.

Selain berangkat dari ide tentang pasar malam, spirit tentang bayangan dan cahaya dalam pertunjukan wayang tradisi itu, pada akhirnya mengikat pula Eko Nugroho dan anggota tim kolaboratornya untuk berpijak pada gagasan ini dalam mewujudkan imaji visual, baik untuk kepentingan pertunjukan maupun untuk karya-karya dalam pameran. Seluruh kontradiksi yang berserak dari ide bebayang tersebut, yakni tentang benda dan bayangan, tentang terang dan gelap, tentang yang nyata dan yang tidak nyata, tentang sesuatu yang tersembunyi dan ditampakkan, adalah sesuatu yang dibatasi oleh selembar kain yang biasa digunakan sebagai layar.

Cahaya adalah elemen utama untuk menciptakan bebayang. Pada seni pertunjukan tradisi, sumber utama dari cahaya berasal alat penerangan yang disebut sebagai blencong. Dengan mengandalkan api, wilayah yang menjadi teritori sang dalang menjadi benderang, dan, sebaliknya, tempat penonton biasanya dibiarkan tak padang. Pada pertunjukan wayang hari-hari ini, dengan keinginan yang besar untuk melakukan inovasi dan menampilkan kemungkinan-kemungkinan visual yang baru, sumber cahaya kemudian bisa beragam. Untuk instalasi-instalasi dalam pameran ini, sumber cahaya terutama memanfaatkan energi listrik dengan berbagai kemungkinannya.

Saya melihat kemungkinan unik dengan melibatkan Ignatius Sugiarto, aka Pak Clink, seorang seniman cahaya, yang terutama telah berpengalaman di panggung pertunjukan, untuk bekerja sama dengan Eko mewujudkan imaji visual yang lebih jauh dari wayang-wayang ini. Selama ini, Clink telah mencoba membuka berbagai kemungkinan atas sumber cahaya, dan karenanya, saya melihat kemampuan dan ketrampilannya dalam mengenali bayangan-bayangan dibentuk dari setiap sumber cahaya yang berbeda. Sebagaimana Eko, di atas panggung, Clink melukis pula imaji dari pendar lampu yang ia gunakan.

Hasil kolaborasi mereka terutama mewujud dalam karya-karya instalasi yang menampilkan lampu listrik penuh warna atau bentuk instalasi interaktif yang menunjukkan bentuk-bentuk komikal khas Eko Nugroho. Instalasi utama pada pameran ini, yakni permainan komidi putar dengan para tokoh wayang di atasnya, dengan segera menunjukkan suasana pasar malam yang biasa kita temui di pinggiran kota. Tokoh-tokoh ini menampilkan parade dari absurditas dan keganjilan-keganjilan peradaban, menyimpan senjata di masing-masing tangan, dengan hasrat kekerasan yang tersembunyi.


Kurator
Alia Swastika


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rumah Seni Cemeti / Cemeti Art House
Jl. D. I. Panjaitan No. 41 Yogyakarta 55143 Indonesia
Telp/Fax. +62 (0)274 371015
Hp. +62 812 273 3564
Website: http://www.cemetiarthouse.com/
Email: cemetiah@indosat.net.id
Buka/Open: Tuesday - Saturday, 09.00 - 17.00