Friday, March 13, 2009

HIDDEN VIOLENCE, Eko Nugroho

Mengundang anda pada pembukaan pameran tunggal
Eko Nugroho | Hidden Violence



Pembukaan 17 Maret, 19.30
Pameran Berlangsung: 17 Maret – 18 April 2009

Rumah Seni Cemeti
Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta 55143
09.00 - 17.00, Minggu & Senin tutup


Pameran ini adalah sebuah interpretasi tentang Wayang Jawa dalam kaitannya dengan bebayang. Dalam tradisi pertunjukan wayang di Jawa, yang biasa dimainkan dalam waktu semalam suntuk, oleh seorang dalang dan iringan gamelan, objek nyata berupa wayang hanya dinikmati sendiri oleh sang dalang. Kita, sebagai penonton, dihadapkan hanya pada bayangannya saja. Sang dalang mengikat keterlibatan penonton melalui bangunan cerita dan keterampilannya yang tinggi dalam memainkan wayang di hadapan pendar cahaya. Nama wayang sendiri, mempunyai arti bayang, sehingga dalam tradisi Jawa, juga Bali, yang menjadi esensi utama dari pertunjukan adalah representasi bebayang tersebut.

Wayang-wayang ini adalah transformasi dari figure-figur komikal yang telah lama diciptakan Eko Nugroho sebagai basis estetika yang utama dalam karya-karyanya. Sosok-sosok aneh seperti manusia berkepala batu, atau berhati berlian, bertangan capit, adalah imaji yang tak asing dalam karya lukis, drawing atau bentuk bordir yang ia ciptakan. Menggabungkan fantasi dan kehidupan sehari-hari adalah caranya untuk merepresentasikan sebuah pandang dunia tentang ambiguitas dan kontradiksi. Dalam wayang purwo, yang ceritanya bersumber pada epos Mahabarata dan Ramayana, kontradiksi adalah sesuatu yang terus menerus digarisbawahi. Bedanya, jika figur-figur pada wayang klasik ini sudah mempunyai karakter yang pasti, dengan ciri khas tertentu sebagai penanda, figur wayang eko didesain untuk bisa menjadi tokoh apa saja. Fleksibilitas ini merupakan salah satu yang didesain untuk membuat projek ini bisa dimainkan oleh siapa saja, dengan cerita apa saja.

Konsep visualisasi untuk pameran ini bersumber dari gagasan tentang pasar malam. Di satu sisi, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama yang hidup di pelosok kampung atau di kota-kota kecil, pasar malam adalah sebuah momen untuk bergembira bersama, merayakan kehidupan. Di sisi yang lain, pasar malam juga menghamparkan gambaran menarik tentang bagaimana masyarakat ini menyerap berbagai kultur dan praktik kesenian dari berbagai budaya dan menempatkannya dalam konteks identitas mereka sendiri. Yang modern dan kini, dipertemukan dengan artifak-artifak masa lalu. Yang terasa baru dan gemerlap, disandingkan dengan sesuatu yang kuno dan berbau ‘murahan’.

Selain berangkat dari ide tentang pasar malam, spirit tentang bayangan dan cahaya dalam pertunjukan wayang tradisi itu, pada akhirnya mengikat pula Eko Nugroho dan anggota tim kolaboratornya untuk berpijak pada gagasan ini dalam mewujudkan imaji visual, baik untuk kepentingan pertunjukan maupun untuk karya-karya dalam pameran. Seluruh kontradiksi yang berserak dari ide bebayang tersebut, yakni tentang benda dan bayangan, tentang terang dan gelap, tentang yang nyata dan yang tidak nyata, tentang sesuatu yang tersembunyi dan ditampakkan, adalah sesuatu yang dibatasi oleh selembar kain yang biasa digunakan sebagai layar.

Cahaya adalah elemen utama untuk menciptakan bebayang. Pada seni pertunjukan tradisi, sumber utama dari cahaya berasal alat penerangan yang disebut sebagai blencong. Dengan mengandalkan api, wilayah yang menjadi teritori sang dalang menjadi benderang, dan, sebaliknya, tempat penonton biasanya dibiarkan tak padang. Pada pertunjukan wayang hari-hari ini, dengan keinginan yang besar untuk melakukan inovasi dan menampilkan kemungkinan-kemungkinan visual yang baru, sumber cahaya kemudian bisa beragam. Untuk instalasi-instalasi dalam pameran ini, sumber cahaya terutama memanfaatkan energi listrik dengan berbagai kemungkinannya.

Saya melihat kemungkinan unik dengan melibatkan Ignatius Sugiarto, aka Pak Clink, seorang seniman cahaya, yang terutama telah berpengalaman di panggung pertunjukan, untuk bekerja sama dengan Eko mewujudkan imaji visual yang lebih jauh dari wayang-wayang ini. Selama ini, Clink telah mencoba membuka berbagai kemungkinan atas sumber cahaya, dan karenanya, saya melihat kemampuan dan ketrampilannya dalam mengenali bayangan-bayangan dibentuk dari setiap sumber cahaya yang berbeda. Sebagaimana Eko, di atas panggung, Clink melukis pula imaji dari pendar lampu yang ia gunakan.

Hasil kolaborasi mereka terutama mewujud dalam karya-karya instalasi yang menampilkan lampu listrik penuh warna atau bentuk instalasi interaktif yang menunjukkan bentuk-bentuk komikal khas Eko Nugroho. Instalasi utama pada pameran ini, yakni permainan komidi putar dengan para tokoh wayang di atasnya, dengan segera menunjukkan suasana pasar malam yang biasa kita temui di pinggiran kota. Tokoh-tokoh ini menampilkan parade dari absurditas dan keganjilan-keganjilan peradaban, menyimpan senjata di masing-masing tangan, dengan hasrat kekerasan yang tersembunyi.


Kurator
Alia Swastika


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rumah Seni Cemeti / Cemeti Art House
Jl. D. I. Panjaitan No. 41 Yogyakarta 55143 Indonesia
Telp/Fax. +62 (0)274 371015
Hp. +62 812 273 3564
Website: http://www.cemetiarthouse.com/
Email: cemetiah@indosat.net.id
Buka/Open: Tuesday - Saturday, 09.00 - 17.00

No comments: